Senin, 20 Juni 2011

EFEKTIVITAS DAN EFEKTIFIKASI SERTA EVALUASI HUKUM



BAB I
1.PENDAHULUAN
Sejak lahir ke dunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan
pegangan baginya.Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum, apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan . Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda).















BAB II
A.    Efektifitas dan Efektivikasi Hukum
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas dari hukum diantaranya :
a. Hukum itu harus baik
-         Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
-         Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum    tertentu harus sinkron)
-         Secara filosofis
b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
d. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
·         Tahu hukum (law awareness)
·         Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
·         Paham akan isinya (law acqium tance)
·         Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
e. Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum- hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
1.      Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
2.      Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu.
3.      Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja

B. Efektivitas Hukum yang Diharapkan
Bagaimana mewujudkan efektifitas hukum pada lembaga peradilan di Indonesia, langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh ?  Efektifitas hukum adalah bahwa hukum itu berhasil guna dan efektif, dimana hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan serta hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat serta sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat). (Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang struktur ilmu hukum, hal. 189).
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah hukum adalah masalah manusia bukan sistem perundang-undangan belaka, masalah hukum bukan semata-mata urusan Undang-Undang (affair of rules) tetapi juga urusan perilaku manusia (affair of behavior). Hukum ada didalam masyarakat untuk menjaga ketertiban dan memberikan keadilan, hukum untuk masyarakat, hal ini adalah membentuk suasana yang dinamis, namun bagi bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak semuanya menjamin bahwa keadaan akan dapat teratasi karena akan muncul seberapa besar perubahan dilakukan agar hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakat. Perubahan sosial yang besar yang menyebabkan hukum sulit untuk mengakomodasikannya kedalam sistem yang ada, perubahan tersebut termasuk perubahan perilaku bangsa yang cenderung berorientasi kepada keuntungan bersifat kapitalis sehingga berpengaruh pada praktik hukum. (Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka terwujudnya efektifitas hukum itu dibuktikan dengan terwujudnya nilai-nilai keadilan yang diciptakan oleh penegak hukum, terwujudnya ketertiban dan peradaban masyarakat yang menghargai hukum dan sadar hukum serta adanya perubahan masyarakat yang bisa diakomodasikan kedalam sistem hukum, tercipanya peraturan hukum yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa bukan kepentingan politik, kepentingan penguasa, kepentingan pengusaha.

Peradilan adalah salah satu institusi atau lembaga penegakan hukum, untuk penegakan hukum pada lembaga tersebut tidak bisa dilepaskan dengan pelaku penegakan hukum, pelaku penegakan hukum menurut Bagir Manan adalah dalam perkara pidana yaitu penyidik, penuntut umum dan hakim, dalam perkara perdata / perdata agama yaitu hakim dan para pihak yang berperkara, dalam perkara administrasi negara pelakunya adalah hakim, penggugat dan pejabat administrasi negara. Penasehat hukum / advokat juga sebagai pelaku penegakan hukum di bebagai macam perkara. (Bagir Manan, Prof, Dr, H, SH, M.CL, Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian), hal. 5).
Dengan demikian untuk mewujudkan efektifitas hukum banyak pos-pos yang terkait dan terlibat langsung yang harus diperhatikan dan diadakan pembenahan yang serius dengan langkah-langkah yang mantap, tegas, terkonsep dan terarah, yaitu diantaranya:
1. Pembenahan/Evaluasi Peraturan Perundang-undangan
Menurut Bagir Manan bahwa untuk menegakkan hukum yang adil dimana aturan hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil yaitu apabila dibuat dengan cara-cara yang benar, materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan membawa manfaat yang besar bagi kepentingan indifidu maupun masyarakat, tetapi jika aturan itu dibuat atas dasar kepentingan penguasa dan mengandung kesewenang-wenangan maka akan tidak benar dan tidak adil.(Baagir Manan, Sistim peradilan berwibawa, hal. 20).
Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa meskipun masalah hukum bukan semata-mata berkait dengan undang-undang tetapi juga berkait dengan perilaku manusia, namun sistem perundang-undangan perlu disempurnakan sebagai negara hukum. (Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Menurut A.Qodri Azizy bahwa undang-undang mempunyai kedudukan yang paling penting disamping sebagai wujud kodifikasi dan unifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional, rupanya ada beberapa sebab yang menjadikan pentingnya undang-undang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Dengan undang-undang materi hukum lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan terkodifikasi.
2.      Dalam banyak hal dengan undang-undang berarti telah terjadi unifikasi hukum yang dapat berlaku secara nasional dan tidak dibatasi oleh daerah, suku atau golongan tertentu, kecuali undang-undang yang dengan tegas menyebut ruang lingkup berlakunya undang-undang tersebut.
3.      Lebih mudah untuk dipahami meskipun terdapat ungkapan yang inpretabel (mungkin ditafsirkan), hal ini jauh lebih mudah dibandingdengan menafsirkan hukum yang tidak tertulis.
4.      Resiko bagi penegak hukum lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan hukum tidak tertulis atau keberanian melakukan ijtihad untuk menemukan hukum, tuduhan bahwa penegak hukum melanggar undang-undang tidak ada.
5.      Bagi penyidik akan sangat mudah ketika menjerat pelanggar hukum dengan menunjuk pasal-pasal tertentu, akan mengalami kesulitan kalau dengan menunjuk norma-norma yang hidup di masyarakat.
Untuk pembenahan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah (Presiden), peran wakil-wakil rakyat yang ada di DPR, peranan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang sangat menentukan. Dengan demikian produk undang-undang yang berorientasi kepada nilai keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab kedua lembaga itu. Person-person yang ada dikedua lembaga itu harus terdiri dari orang-orang berwawasan keilmuan tinggi, mempunyai wawasan terhadap budaya bangsa dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta peka terhadap perubahan sosial, memiliki integritas moral tinggi, kejujuran, jiwa keadilan, tidak berorientasi kepada materi dalam pembahasannya, tidak terkoptasi dengan politik dangkal dan tidak memiliki watak, tidak berpandangan dengan pola pikir yang sarat dengan kepentingan partai, kelompok serta diskriminasi.
Peraturan perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia baik dibidang hukum pidana maupun perdata haruslah yang benar-benar selaras dengan karakter, kultur, jiwa masyarakat Indonesia, adat istiadat, yang tidak sarat dengan kepentingan penguasa, yang tidak terlalu bernuansa politik, harus yang dapat mengayomi masyarakat, dapat mewujudkan ketentraman, ketenangan serta kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
2. Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral TerpujiPenegakan hukum (law enforcement) telah disinggung dibagian terdahulu pada lembaga peradilan, untuk penegak hukumnya tidak hanya hakim pengadilan, tetapi terlibat juga penegak hukum yang lain seperti polisi, jaksa, advokat/pengacara, oleh karena itu Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk mewujudkan keadilan kepada masyarakat harus ada perilaku nyata dari orang-orang yang mengoperasikan hukum agar konsisten menegakkan keadilan, mengedepankan moralitas yang mendukung keadilan tersebut. Hukum sebagai institusi moral, nilai-nilai moral masuk kedalam hukum sehingga benteng keadilan dapat terwujud. (Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal.173-1174).
Didalam Islam seseorang tidak boleh diberi kekuasaan kecuali bersifat adil, adil adalah akhlak yang utama, jika seseorang tidak emiliki sifat yaang demikian maka tidak sah kekuasaannya, orang tidak boleh mendengarkan perkataannya dan tidak boleha melaksanakan keputusannya.(Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113).
Bersifat adil yaitu jujur dalam perkataan, amanah (terpercaya), menjaga diri dari segala perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, dapat menahan diri dalam waktu senang dan waktu marah, menjaga sifat sopan santun dalam agama dan dunia, jika tidak ada salah satu saja dari sifat-sifat tersebut maka seseorang tidak sah diberi kekuasaan. Dalam hal kewenangan peradilan yang berkaitan dengan tugas menjatuhkan keputusan jika diserahkan kepada orang yang tidak bisa dipercaya, maka pasti yang akan diputuskan mengandung kedholiman, kemaslahatan akan sirna, kerusakan akan menjadi parah.(Imam Mawardi, Al Ahkam Sulthoniyah, hal. 84).
Dari pandangan-pandangan tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa syarat adil dalam kerangka moral utama yang berbentuk kejujuran, amanah, tidak emosional, memelihara diri dari dosa dan hal yang haram, tidak ragu-ragu dalam bersikap adalah mutlak harus dimiliki oleh penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat/pengacara.
Disamping moral yang baik, kecerdasan penegak hukum sangat diperlukan dalam arti penguasaan keilmuan, ketrampilan, kekuatan daya pikir dan ingatan karena bagian penting penegakan hukum adalah peranan penegak hukum dalam mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk dengan pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu, dalam melaksanakan itu perlu p-engetahuan tentang interpretasi (penafsiran) yang mendalam, dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum terutama hakim lebih bertumpu pada penafsiran gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundangan, padahal dengan penafsiran gramatikal saja tidak cukup mendukung terwujudnya keadilan dan penegakan hukum yang proporsional tetapi harus didukung penafsiran yang lain misalnya penafsiran filosofis mengapa seseorang melakukan / tidak melakaukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana tetapi dengan penafsiran filosofis, misalnya mengapa mengambil sesuatu ? apakah karena kelaparan ? sangat terpaksa dan nilai yang diambil kecil (sebagaimana yang diperbuat Umare bin Khothob yang tidak menghukum potong tangan bagi pencuri makanan karena pada waktu itu musim paceklik) sehingga dengan penafsiran filosofis mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan hukum.(Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia, hal.136-137).
Hikmah lembaga peradilan diantaranya menghilangkan penderitaan, menolak kesewenang-wenangan, menghukum orang yang berbuat dholim (aniaya), memenangkan orang yang teraaniaya, menghilangkan permusuhan, untuk hal itu diperlukan hakim yang sholih, hakim yang adil dan terjaminnya kebebasan hakim jauh dari pengaruh penguasa yang dapat mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.(Abdul Karim Zaidan, Dr, Nidhomul Qodlo’ fi syariatil islamiyah, hal.21-22).




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.














DAFTAR PUSTAKA
1.       Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44.
2.        Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. Hlm.
3.       Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147.
4.       Soejono soekanto. Pokok-pokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2.
5.       Bagir Manan, Prof, Dr, H, SH, M.CL, Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian), hal. 5.
6.       Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44.
7.       Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113


Selasa, 14 Juni 2011

SEKILAS PANDANG FIQH TENTANG KORUPSI


SEKILAS PANDANGAN FIKIH TENTANG KORUPSI
Oleh: KH. Afifuddin, M.Ag


Allah
 SWT berfirman dalam surat Hud ayat 6, bahwa tidak satu    binatang melatapun di bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah. Ini artinya semua binatang yang pernah mendapat kesempatan hidup pasti pernah mendapatkan rezeki dari Allah. Rezeki, dalam madzhab Ahlus Sunnah adalah setiap yang bermanfaat dengan tidak melihat status halal-haramnya. Maka apa yang dimanfaatkan, dipakai dan dimakan oleh seseorang itu sudah merupakan rezekinya, meskipun belum tentu miliknya. Sebaliknya, apa yang menjadi miliknya belum tentu menjadi rezekinya. Karena boleh jadi orang lain yang memanfaatkannya. Dengan demikian, rezeki dan milik merupakan dua perkara yang memiliki hakikat yang berbeda.
Perintah agama kepada kita dalam sosal rezeki adalah adanya ikhtiyar yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dengan arti, apa yang menjadi rezeki bagi kita sekaligus adalah milik kita. Sesuatu yang telah menjadi milik yang sah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak bisa berubah menjadi milik orang atau lembaga lain, kecuali dengan melalui thuruq masyru'ah (cara-cara yang dibenarkan agama). Misalnya, melalui proses transaksi, baik yang bersifat mu'awadhah (timbal balik), seperti jual beli, akad sewa, hutang piutang dan sebagainya, maupun yang bersifat tabarru' (pemberian tanpa imbalan) seperti hibah, hadiah, shadaqat dan wasiat. Perpindahan milik juga terjadi melalui proses penggantian (khilafiyah) yang meliputi penggantian barang dari barang, yakni pengganti kerugian berupa barang atau uang atas tindak kejahatan atau pelanggaran pidana atau perdata.
Harta yang diperoleh seseorang dengan jalan yang tidak benar, misalnya uang hasil mencuri, riba, korupsi dan lain-lain, adalah haram. Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa digunakan karena bukan miliknya. Dia berkewajiban mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Ini kata agama. Ironisnya, pemeluk agama banyak yang sudah tidak peduli pada halal haram. Buktinya, tidak sedikit dari mereka yang berani melakukan korupsi dan tindak kejahatan lainnya. Kata korupsi menjadi kata yang sangat banyak diucapkan orang di negeri ini. Mungkin disamping karena banyak dilakukan orang, juga mafsadatnya banyak dirasakan orang.
Korupsi adalah penghianatan terhadap amanah (kepercayaan) dengan mengambil atau menerima barang, uang atau manfaat yang merugikan public secara moral dan material. Korupsi bisa disebut sebagai pencurian tingkat elit karena hanya bisa dilakukan oleh orang yang sedang mendapat kepercayaan dalam berbagai levelnya. Penggelapan uang sekolah oleh kepala sekolah misalnya, adalah korupsi. Memotong dana bantuan Depag oleh pihak yang seharusnya menyampaikannya secara utuh kepada pihak penerima bantuan itu adalah korupsi. Menerima uang dari seseorang yang bertujuan agar proses peradilan tidak berjalan secara fair, yang salah menjadi benar dan yang benar menjai salah, adalah korupsi. Menerima pemberian yang bermaksud agar proses tender berjalan secara tidak proporsional dan professional. Menerima pemberian sebagai imbalan atau suatu pekerjaan yang sebenarnya memang menjadi kewajibannya adalah juga korupsi. Dan setiap pemberian potensial atau diduga keras bisa mempengaruhi pelaksanaan tugas secara benar adalah haram dan tidak boleh diterima.
Kalau seseorang memberikan sesuatu dengan maksud untuk mendapatkan haknya yang terampas atau agar yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah, maka itu dibenarkan. Akan tetapi pihak yang diberi tidak boleh menerimanya. Sebab menyerahkan hak kepada yang berhak dan berpegang pada kebenaran memang menjadi tugas dan keawajibannya. Ini termasuk pengecualian dari kaidah umum yang mengatakan:
ماَ حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَائُهُ
 Setiap yang haram mengambilnya, maka haram pula memberikannya
Dari itu, dibenarkan bila seseorang memberikan uang atau barang dengan tujuan untuk melepaskan anggota keluarga yang madzlum dengan ditahan tanpa salah. Atau agar saudaranya yang sedang berurusan dengan pengadilan diadili secara fair, atau agar anaknya yang berhak lulus dalam ujian diluluskan. Tapi pihak-pihak yang diberi seperti hakim, panitia ujian dan yang punya wewenang melepaskan tahanan dari penjara tidak halal menerima pemeberian tersebut. Karena hal itu memang kewajiban mereka.
Tindak kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan pencurian biasa. Karena pada hakikatnya korupsi merupakan perpaduan antara pencurian itu sendiri, penghianatan dan kekecewaan masyarakat. Masyarakat kecewa karena pihak yang mereka harapkan bisa memberikan pelayanan dan kemudahan ternyata yang diberikan adalah kesengsaraan dan kesulitan. Hanya ada satu unsur pencurian yang kadang-kadang mungkin tidak terdapat dalam tindak pidana korupsi, yaitu unsur pelecehan dalam bentuk pembobolan hirz sebagai tempat perlindungan dan penyimpanan barang yang dicuri oleh koruptor itu. Hukuman terhadap koruptor bisa lebih berat dari hukum terhadap pencuri biasa. Pelaku korupsi semula adalah terhormat yang kemudian menjadi orang yang mardud ila asfala safilin (terperosok ke posisi yang serendah-rendahnya).
Menjadi koruptor tidak gampang. Karena salah satu persyaratannya adalah adanya amanah yang dipercayakan kepadanya yang ternyata salah alamat. Orang yang memikul amanah yang kemudian menjadi koruptor itu adakalanya memang sejak awal tidak berpotongan sebagai orang jujur dan adakalanya pada awalnya amanah (jujur) tapi kemudian berubah menjadi penghianat. Yang jelas koruptor itu dalam banyak hal merupakan produk sistem yang rusak. Sistem rekrutmen pegawai atau pejabat yang lebih mengutamakan kedekatan  personal atau kesanggupan untuk memberikan materi sebagai pelicin sangat potensial untuk melahirkan koruptor-koruptor baru. Tapi, sebaik-baiknya sistem rekrutmen belum tentu mampu menjadi saringan handal untuk mengganjal lolosnya calon-calon koruptor memasuki lingkungan birokrasi. Sebab ada dugaan keras, bahkan keyakinan, bahwa maraknya praktek korupsi di negeri ini adalah cerminan dari rusaknya kondisi masyrakat kita, khususnya di bidang akhlak dan moralitas. Sehingga orang jujur di sini menjadi makhluk langka. Lalu pertanyaan yang muncul adalah: di mana peranan kaum pendidik, para agamawan, para kiai, para ulama', lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhamaddiyah, dalam membangun moralitas bangsa?.        


والله أعلم

Minggu, 12 Juni 2011

MURABAHAH



A. MURABAHAH

Berbicara tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut dengan al-bai'. Ditinjau dari segi harga, al-bai' dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah.
Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang secara etimologis dapat diartikan dengan (tukar menukar)[1] atau (menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain)[2] atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti)[3]. Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira[4] (beli). Dengan demikian kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.
Bertitik tolak dari apa yang di kemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1.      Bagaimanakah konsep murabahah dalam perspektif fiqh?
2.      Bagaimanakah pendapat ulama tentang aplikasi konsep murabahah di perbankan Islam/syari'ah?
3.      Bagaimanakah konsep murabahah dalam perspektif praktisi ?

B. MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIQH
Secara etimologis, murabahah berasal dari mashdar yang berarti "keuntungan, laba, faedah"[5], sedangkan menurut istilah fuqoha’ adalah sebagai berikut:
1.      versi ulama’ malikiyah adalah transaksi jual beli barang dagangan sesuai dengan harganya bersamaan dengan adanya laba.
2.      Versi ulama’ hanafiyah adalah pemindahan kepemilikan berdasarkan transaksi dan harga pada orang pertama ditambah adanya laba.
3.      Versi ulama’ syafi’iyah dan hanabilah adalah penjualan sesuai dengan modal pembelian pertama dan adanya laba setiap sepuluh satu dirham.
Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi murabahah, yaitu : البيع بمثل الثمن الأول مع زيادة ربح"Jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan"[6].
Murabahah tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadis[7]. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-Quran atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati.[8] Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: "Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah.[9]
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1. Mengetahui harga pokok
Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
2. Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga. Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
3. Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya.[10]
Jual beli murabahah merupakan jual beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Atau dengan kata lain dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah SWT berfirman dalam surah al-Anfal 27:
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ  

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui"[11].
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi jual beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama fiqh, yaitu: menurut ulama Hanafiyyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat.[12]
D. MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF PRAKTISI
Hadirnya bank syari'ah dewasa ini menunjukan kecenderungan yang semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari'ah cukup bervariatif, sehingga mampu memberikan pilihan atau alternative bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Dalam perbankan syari'ah, ada dua bentuk murabahah yang umumnya dipraktekkan, yakni murabahah modal kerja dan murabahah investasi. Penjelasannya sebagai berikut :
                                i.            Murabahah modal kerja adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah selaku pemesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama.[13] Atau menjual suatu barang dengan harga asal (modal) ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.[14]
                              ii.            Murabahah investasi, yaitu suatu perjanjian jual beli untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkan barang seketika sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama.[15]
Adapun rukun murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqh dan apabila dianalogikan dalam praktek perbankan sebagai berikut :
1)      Penjual (ba'i) dianalogikan sebagai bank.
2)      Pembeli (musytari) dianalogikan sebagai nasabah.
3)      Barang yang diperjualbelikan (mabi'), yaitu jenis pembiayaan seperti pembiayaan investasi.
4)      Harga (tsaman) dianalogikan sebagai pricing atau plafond pembiayaan.
5)      Ijab Qabul dianalogikan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.[16]

Adapun syarat-syarat umum murabahah antara lain, yaitu :
1. Pihak yang berakad :          
a.       Adanya kerelaan kedua belah pihak
b.      Memiliki kemampuan untuk melakukan jual beli
2. Barang atau obyek :
a.       Barang itu ada meskipun tidak di tempat, namun ada pernyataan kesanggupan untuk mengadakan barang itu.
b.      Barang itu milik sah penjual atau seseorang
c.       Barang yang diperjualbelikan harus berwujud
d.      Barang itu tidak termasuk kategori yang diharamkan
e.       Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual
f.       Apabila benda bergerak, maka barang itu bisa langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan bila barang itu tidak bergerak dapat dikuasai pembeli setelah dokumentasi jual beli dan perjanjian atau akad diselesaikan.
3. Harga :
a.       Harga jual bank adalah harga beli ditambah keuntungan
b.      Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian
c.       Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama

Sedangkan syarat-syarat khusus murabahah antara lain:
1)      Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya dari barang yang hendak dijual.
2)      Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menyetujui besarnya keuntungan yang ditetapkan sebagai tambahan terhadap modal sehingga modal ditambah dengan untung merupakan harga barang yang dijual.
3)      Barang yang dijual secara murabahah dan harga barang itu bukan dari jenis yang sama dengan barang ribawy yang dilarang diperjualbelikan kecuali dengan timbangan atau takaran yang sama. Dengan demikian tidak sah jual beli secara murabahah atas emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang jenisnya sama.[17]


E. KESIMPULAN

1. Murabahah adalah salah satu produk yang dikembangkan oleh bank syari'ah. Produk ini didasarkan pada prinsip jual beli yang dalam istilah fiqh Islam disebut dengan bai' al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah menjual barang dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bai' al-murabahah ini merupakan salah satu bentuk bai' al-amanah, disamping bai' at-tauliyyah, yakni menjual barang dengan harga pokok tanpa mengambil keuntungan apapun dan bai'al-wadhi'ah, yakni menjual barang dengan harga jual dibawah harga pokok.
2. Bai' al-murabahah dalam fiqh kemudian diterapkan dalam bentuk produk perbankan syari'ah. Dalam perbankan syari'ah, produk ini diartikan sebagai akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut, bank mendapatkan keuntungan.
3. Aplikasi konsep murabahah dalam perbankan syari'ah ini menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan ulama tentang halal dan tidaknya.

5 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Cet. IV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 463. 6 Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 703. 7 Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 161. 8 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et. al, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 137. 9 Ibid, h. 138. 10 Ibid. 11 Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 705. 12 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989), h. 264. 13 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 76. 14 Ibid, h. 87. 15 Joseph Schacht, The Encyklopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1986), h. 510. 16 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 89. 17 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (CD Hadits). 18 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 87. 19 Abu Sura'i Abdul Hadi, Ar-Riba wa al-Qurudh, Terj. M. Thalib, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 60. 20 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 90. 21 Ibid, h. 91. 22 Arison Hendry, Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu'amalat Institute, 1999), h. 43. 23 Tazkiah Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan Syari'ah, 14 Mei 1999, h. 1. 24 Arison Hendry, Loc.cit. 25 Ibid. 26 Tazkia Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Program Pendidikan dan Pengembangan SDM Bank Mu'amalah, h. 2.




[1] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 126.
[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 344.
[3] Anita Rahmawati, Kontroversi Konsep Murabahah Dalam Perbankan Syari'ah dan Aplikasinya di BMI Semarang, (Tesis, 2000), h. 52.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Loc.cit.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Cet. IV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 463.
[6] Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 703.
[7] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et. al, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 137.
[8] Ibid, h. 138.
[9] Ibid.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 705.
[11] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989), h. 264.
[12] Anita Rahmawati, Op.cit, h. 76.
[13] Arison Hendry, Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu'amalat Institute, 1999), h. 43.
[14] Tazkiah Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan Syari'ah, 14 Mei 1999, h. 1.
[15] Arison Hendry, Loc.cit.
[16] Ibid.
[17] Tazkia Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Program Pendidikan dan Pengembangan SDM Bank Mu'amalah, h. 2.