Minggu, 12 Juni 2011

TAUBAT MAKSIAT


Taubat Maksiat
Pada suatu hari seorang laki-laki datang kepada rabiah al-adawiyyah al-basriyah, seorang tokoh sufi perempuan terkenal di basrah, saat itu tampa banyak basa-basi, laki-laki itu pun bertanya “saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya menumpuk.mungkin (jika di ukur) melebihi gunung-gunung yang ada. Andai kata saya bertaubat, apakah allah akan menerima taubat saya  ? tidak , jawab rabi’ah dengan suara sangar.
Dalam kesempatan yang berbeda, seorang laki-laki lain datang kepadanya. Laki-laki itu berkata, seandainya tiap butir pasir  adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Semua jenis maksiat telah saya lakukan, baik kecil; maupun besar. Apakah tuhan masih menerima taubat saya  ?”. pasti jawab rabi’ah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, kalau tuhan tidak berkenan menerima taubat seorang, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani taubat ?. untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” andai kata.
Memang ucapan perempuan sufi dari basrah tersebut seringkali membuat merah telinga banyak orang yang tidak memahaminya. Ucapan Rabi’ah, sebagaimana telah dikemukakan ini, masih dalam kategori pertanyaan biasa-biasa saja. Lebih jauh ia bahkan pernah berkata keras, menyindir perilaku taubat yang tidak bersungguh-sungguh. Katanya: “apa gunanya minta ampun kepada tuhan kalau tidak bersungguh-sungguh dan berangkat dari hati nurani ?” tampak sekali di sini, betapa rabi’ah selalu tidak pandang bulu untuk mengkritik  perilaku yang kurang benar dalam tasawuf.
Yang bisa kita ambil dari kisah ini, bahwa secara naluriah  kita tidak dapat memungkiri kecenderungan (hampir) tiap orang untuk melakukan taubat ketika jelas nyata-nyata berbuat salah. Hanya persoalannya, banyak orang yang tidak memahami apa yang mesti yang harus ia lakukan agar taubat tadi bisa benar-benar diterima oleh allah. Akibatnya keinginan untuk membersihlkan dosa itu menjadi teerabaikan sama sekali. Selain tiu, kemungkinan ini juga akibat dari tiadanya pemahaman makna taubat yang sesungguhnya.
Dari sini, lantas muncul pertanyaan mendasar dalam disiplin ilmu tasawuf. Apakah hakikat taubat yang sebenarnya? Langkah apa sajakah yang harus kita tempuh dalam bertaubat? Dan adakah tingkatan-tingkatan taubat dilihat dari perspektif ilmu tasawuf?
Defenisi Taubat
Fase awal yang mesti dilalui oleh seoarang sufi adalah maqam takhalli. Sebuah maqam dimana seorang sufi harus membersihkan diri dari sifat tercela yang melekat pada dirinya. Seorang sufi harus melewati tahaf ini jika ia ingin naik memasuki tingkat selanjutnya. Nah, langka paling awal yang harus dilakukan pada tahap ini dalah taubat.
Dalam mendefinisikan taubat, para ulama’ berbeda pendapat. Menurut imam Qusyairy, taubat adalah menahan diri dari perbuatan tercela untuk menuju perbuatan terpuji. Al-wasyity mengatakan bahwa taubat adalah kesucian hati dalam dari perbuatan maksiat, baik yang jelas maupun yang samar. Ibnu Al-Arobi berpendapat lain beliau mengatakan taubat adalah meninggalkan dan menyesali semua perbuatan tercela dan kemudian berupaya untuk tidak mengulanginya kembali(Risalah Qusyairiyah 92-95)
Dari ketiga pendapat ini, pendapat ibnu al-arabi adalah pendapat yang lebih dapat diterima karena defenisi yang dikemukakanya lebih komplit dibandingkan dengan definisi yang lainnya. Atau dengan kata lain defenisi ini lebih mencakup kesemua tingkatan taubat. Di samping itu pula, taubat dalam pengetian ini, juga menggambarkan langkah-langkah operasional taubat itu sendiri. Berkenaan dengan taubat allah ta’ala berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Berdasarkan ayat ini, kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh seseorang dapat dilebur dengan cara taubatan nasuha. Yakn, taubat yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan berangkat dari hati nurani. Bukan taubat yang hanya ingin main-main dengan tuhan.seperti setiap hari bertaubat, tapi maksiat masih tetapa dilakukan. Hal ini tentu tidak akan dapat banyak mamfaatnya.
Maka dari itu, seseorang yang ingin taubatnya diterima disisi allah, ia harus sungguh-sungguh dalam bertaubat. Jika seseorang  telah melakukan hal ini kemungkinan besar taubatnya diterima allah. Lalu, jika taubatnya diterima allah, maka ia ibarat orang yang belum pernah melakukan dosa atas perbuatan itu. Rosulallah Saw.Bersabda:

التَائِبُ مِنَ الذَنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosa laksana orang yang tidak mempunyai dosa.(sunan ibnu majah, II, 1420)
Pra syarat taubat
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam bertaubat. Pertama:menyesali kesalahan dan kekhilafan atas perbuatan tercela yang telah ia lakukan dimas lalu. Penyesalan ini ditunjukan dengan perasaan yang selalu gelisah dan kesedihan yang begitu mendalam. Dalam rangkaian bertaubat, langkah pertama ini menjadi syarat pokok yang harus dipenuhi. Berdasarkan hadist Nabi:
النَدْمُ تَوْبَةٌ
Dalam teks hadits, taubat diidentikan dengan penyesalan. Seakan-akan tiada taubat tampa disertai penyesalan. Wajar kalau penyesalan menjadi syarat pokok didalamnya. Persoalannya kemudian, apa yang menjadi penyebab pokok penyesalan ?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tasawuf. Pertama, ulama’ yang memandang bahwa penyesalan itu disebabkan kerena tidak membaca istigfar (meminta ampun kepada allah) ketika berbuat dosa. Seharusnya setelah berbuat dosa, seseorang harus beristigfar. Tapi, karena kelengahannya ia tidak melakukannya. Makanya ketika bertaubat, ia harus menyesali atas tindakannya.
kedua, pendapat yang menyatakan bahwa seseorang harus menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu. Waktu yang seharusnya diisi dengan hal-hal yang bermamfaat malah dipenuhi dengan perbuatan tercela. Karena itulah ia harus menyesali tindakannya.ketiga, kelompok yang memandang bahwa penyesalan itu timbul atas kelengahannya meninggalkan ketaatan di waktu yang telah dilaluinya.
Ke empat, kalangan yang memandang bahwa penyesalan itu karena tidak berbuat dosa besar dimasa lalunya. Sebab, mereka melihat adanya balasan kebajikan pada setiap kejelekan yang ditaubati. Artinya, semakin besar dosa yang ditaubati, semakin besar pula balasan kebajikan yang akan diterima.sebagaimana firman allah SWT.”kecuali orang yang bertaubat, kemudian beriman dan beramal saleh. Maka, Allah akan menggantikan kejelekan mereka dengan kebajikan.”kelima ulama’ yang menilai penyesalan itu akibat lupa kepada allah ketika berbuat maksiat. Keenam, kalangan yang merasa menyandarkan perbuatan yang dilakukan kepada allah.{al-futuhat al-makkiyah,III,140}
Syarat kedua, meninggalkan kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan. Seoarang yang hendak bertaubat, ia harus menghentikan perbuatan tercela yang ditaubati. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya seseorang :apakah taubat itu ? beliau menjawab :taubat adalah melakukan enam hal atas dosa yang telah dikerjakan oleh seseorang, menyesali kesalahannya, mengqodoi kewajiban yang pernah ditinggalkan, mengembalikan hak orang lain, meminta maaf kepada orang yang pernah ia dzholimi, memiliki komitmen untuk tidak mengulangi perbuatnnya, dan mendidik dirinya untuk taat kepada allah sebagaimana ia pernah mendidik dirinya untuk bermaksiat kepanya.
Ungkapan Ali ini menunjukan bahwa demi terwujudnya taubat, seseorang harus mampu menghentikan kesalahan yang ia lakukan.  Sebaliknya, ia harus menunaikan hal-hal yang menjadi beban tanggungannya. Sebab dengan cara itulah, seseorang bisa menutupi terhadap kesalahan yang diperbuat. Tampa hal ini, taubat akan sia-sia.
Syarat ketiga, memiliki komitmen untuk tidak mengulangi dosa-dosa yang dilakukannya. Yahya bin Muadz berkata : satu kesalahan setelah bertaubat lebih buruk dibandingkan dengan tujuh puluh kesalahan yang ia lakukan sebelumnya”. Karena itulah seseorang jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan. Caranya harus bersikap hati-hati. Jangan mudah terpedaya oleh kenikmatan sesaat. Sehingga ia mudah terjatuh dalam kesalahan itu kembali.(Risalah Qusyairiyah, 94-95)
Beberapa maqam taubat:
Terdapat bermacam-macam tingkat (maqam) dalam bertaubat, sesuai dengan tingkatan para pelakunya. Abi Ali Ad-Daqqaq membagi taubat menjadi tiga tingkatan.
Pertama, taubah, yakni taubat yang didasari oleh rasa takut terhadap siksaan Allah. Taubah merapakan tingkatan bagi kalangan mukminin. Sebagaimana firman Allah:” bertaubatlah kalian kepada allah, wahai orang-orang yang beriman agar menjadi orang yang beruntung” (QS. Annur, 31)
Kedua, ‘anabah, bertaubat karena untuk memperoleh pahala disisi-Nya. Ini merupakan tingkatan para wali. Allah Swt berfirman : (yaitu) orang-orang yang tidak takut kepada tuhan yang maha pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya).” (QSW.Qaaf, 33).
Dan yang ketiga, ‘aubah yaitu, taubat semata-mata  untuk menjalankan perintah allah, tidak karena takut siksa atau mengharap pahala disisi-Nya. Dijelaskan dalam Al-Qur’an sebaik-baiknya hamba adalah orang yang bertaubat” (QS.Shaad,44).(Risalah Qusyairiyah, 94-95)
Dari berbagai keterangan yang telah dikemukakan tadi, sudah selayaknyalah kita mesti bertaubat. Bertaubat dengan tidak menunggu sampai menumpuknya dosa hingga segunung. Melainkan bertaubat secara “nasuha” dan sesegara mungkin. Bukan tidak mungkin, sebelum kita bertaubat, kita keburu diminta kembali kehadirat Allah Swt. Di samping itu, kita mesti melatih diri, untuk sampai kepada tingkat tertinggi (‘ubah) dalam bertaubat.Agar selanjutnya, bisa naik ke maqam yang lebih tinggi.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar