Selasa, 14 Juni 2011

SEKILAS PANDANG FIQH TENTANG KORUPSI


SEKILAS PANDANGAN FIKIH TENTANG KORUPSI
Oleh: KH. Afifuddin, M.Ag


Allah
 SWT berfirman dalam surat Hud ayat 6, bahwa tidak satu    binatang melatapun di bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah. Ini artinya semua binatang yang pernah mendapat kesempatan hidup pasti pernah mendapatkan rezeki dari Allah. Rezeki, dalam madzhab Ahlus Sunnah adalah setiap yang bermanfaat dengan tidak melihat status halal-haramnya. Maka apa yang dimanfaatkan, dipakai dan dimakan oleh seseorang itu sudah merupakan rezekinya, meskipun belum tentu miliknya. Sebaliknya, apa yang menjadi miliknya belum tentu menjadi rezekinya. Karena boleh jadi orang lain yang memanfaatkannya. Dengan demikian, rezeki dan milik merupakan dua perkara yang memiliki hakikat yang berbeda.
Perintah agama kepada kita dalam sosal rezeki adalah adanya ikhtiyar yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dengan arti, apa yang menjadi rezeki bagi kita sekaligus adalah milik kita. Sesuatu yang telah menjadi milik yang sah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak bisa berubah menjadi milik orang atau lembaga lain, kecuali dengan melalui thuruq masyru'ah (cara-cara yang dibenarkan agama). Misalnya, melalui proses transaksi, baik yang bersifat mu'awadhah (timbal balik), seperti jual beli, akad sewa, hutang piutang dan sebagainya, maupun yang bersifat tabarru' (pemberian tanpa imbalan) seperti hibah, hadiah, shadaqat dan wasiat. Perpindahan milik juga terjadi melalui proses penggantian (khilafiyah) yang meliputi penggantian barang dari barang, yakni pengganti kerugian berupa barang atau uang atas tindak kejahatan atau pelanggaran pidana atau perdata.
Harta yang diperoleh seseorang dengan jalan yang tidak benar, misalnya uang hasil mencuri, riba, korupsi dan lain-lain, adalah haram. Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa digunakan karena bukan miliknya. Dia berkewajiban mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Ini kata agama. Ironisnya, pemeluk agama banyak yang sudah tidak peduli pada halal haram. Buktinya, tidak sedikit dari mereka yang berani melakukan korupsi dan tindak kejahatan lainnya. Kata korupsi menjadi kata yang sangat banyak diucapkan orang di negeri ini. Mungkin disamping karena banyak dilakukan orang, juga mafsadatnya banyak dirasakan orang.
Korupsi adalah penghianatan terhadap amanah (kepercayaan) dengan mengambil atau menerima barang, uang atau manfaat yang merugikan public secara moral dan material. Korupsi bisa disebut sebagai pencurian tingkat elit karena hanya bisa dilakukan oleh orang yang sedang mendapat kepercayaan dalam berbagai levelnya. Penggelapan uang sekolah oleh kepala sekolah misalnya, adalah korupsi. Memotong dana bantuan Depag oleh pihak yang seharusnya menyampaikannya secara utuh kepada pihak penerima bantuan itu adalah korupsi. Menerima uang dari seseorang yang bertujuan agar proses peradilan tidak berjalan secara fair, yang salah menjadi benar dan yang benar menjai salah, adalah korupsi. Menerima pemberian yang bermaksud agar proses tender berjalan secara tidak proporsional dan professional. Menerima pemberian sebagai imbalan atau suatu pekerjaan yang sebenarnya memang menjadi kewajibannya adalah juga korupsi. Dan setiap pemberian potensial atau diduga keras bisa mempengaruhi pelaksanaan tugas secara benar adalah haram dan tidak boleh diterima.
Kalau seseorang memberikan sesuatu dengan maksud untuk mendapatkan haknya yang terampas atau agar yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah, maka itu dibenarkan. Akan tetapi pihak yang diberi tidak boleh menerimanya. Sebab menyerahkan hak kepada yang berhak dan berpegang pada kebenaran memang menjadi tugas dan keawajibannya. Ini termasuk pengecualian dari kaidah umum yang mengatakan:
ماَ حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَائُهُ
 Setiap yang haram mengambilnya, maka haram pula memberikannya
Dari itu, dibenarkan bila seseorang memberikan uang atau barang dengan tujuan untuk melepaskan anggota keluarga yang madzlum dengan ditahan tanpa salah. Atau agar saudaranya yang sedang berurusan dengan pengadilan diadili secara fair, atau agar anaknya yang berhak lulus dalam ujian diluluskan. Tapi pihak-pihak yang diberi seperti hakim, panitia ujian dan yang punya wewenang melepaskan tahanan dari penjara tidak halal menerima pemeberian tersebut. Karena hal itu memang kewajiban mereka.
Tindak kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan pencurian biasa. Karena pada hakikatnya korupsi merupakan perpaduan antara pencurian itu sendiri, penghianatan dan kekecewaan masyarakat. Masyarakat kecewa karena pihak yang mereka harapkan bisa memberikan pelayanan dan kemudahan ternyata yang diberikan adalah kesengsaraan dan kesulitan. Hanya ada satu unsur pencurian yang kadang-kadang mungkin tidak terdapat dalam tindak pidana korupsi, yaitu unsur pelecehan dalam bentuk pembobolan hirz sebagai tempat perlindungan dan penyimpanan barang yang dicuri oleh koruptor itu. Hukuman terhadap koruptor bisa lebih berat dari hukum terhadap pencuri biasa. Pelaku korupsi semula adalah terhormat yang kemudian menjadi orang yang mardud ila asfala safilin (terperosok ke posisi yang serendah-rendahnya).
Menjadi koruptor tidak gampang. Karena salah satu persyaratannya adalah adanya amanah yang dipercayakan kepadanya yang ternyata salah alamat. Orang yang memikul amanah yang kemudian menjadi koruptor itu adakalanya memang sejak awal tidak berpotongan sebagai orang jujur dan adakalanya pada awalnya amanah (jujur) tapi kemudian berubah menjadi penghianat. Yang jelas koruptor itu dalam banyak hal merupakan produk sistem yang rusak. Sistem rekrutmen pegawai atau pejabat yang lebih mengutamakan kedekatan  personal atau kesanggupan untuk memberikan materi sebagai pelicin sangat potensial untuk melahirkan koruptor-koruptor baru. Tapi, sebaik-baiknya sistem rekrutmen belum tentu mampu menjadi saringan handal untuk mengganjal lolosnya calon-calon koruptor memasuki lingkungan birokrasi. Sebab ada dugaan keras, bahkan keyakinan, bahwa maraknya praktek korupsi di negeri ini adalah cerminan dari rusaknya kondisi masyrakat kita, khususnya di bidang akhlak dan moralitas. Sehingga orang jujur di sini menjadi makhluk langka. Lalu pertanyaan yang muncul adalah: di mana peranan kaum pendidik, para agamawan, para kiai, para ulama', lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhamaddiyah, dalam membangun moralitas bangsa?.        


والله أعلم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar