Minggu, 12 Juni 2011

MURABAHAH



A. MURABAHAH

Berbicara tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut dengan al-bai'. Ditinjau dari segi harga, al-bai' dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah.
Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang secara etimologis dapat diartikan dengan (tukar menukar)[1] atau (menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain)[2] atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti)[3]. Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira[4] (beli). Dengan demikian kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.
Bertitik tolak dari apa yang di kemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1.      Bagaimanakah konsep murabahah dalam perspektif fiqh?
2.      Bagaimanakah pendapat ulama tentang aplikasi konsep murabahah di perbankan Islam/syari'ah?
3.      Bagaimanakah konsep murabahah dalam perspektif praktisi ?

B. MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIQH
Secara etimologis, murabahah berasal dari mashdar yang berarti "keuntungan, laba, faedah"[5], sedangkan menurut istilah fuqoha’ adalah sebagai berikut:
1.      versi ulama’ malikiyah adalah transaksi jual beli barang dagangan sesuai dengan harganya bersamaan dengan adanya laba.
2.      Versi ulama’ hanafiyah adalah pemindahan kepemilikan berdasarkan transaksi dan harga pada orang pertama ditambah adanya laba.
3.      Versi ulama’ syafi’iyah dan hanabilah adalah penjualan sesuai dengan modal pembelian pertama dan adanya laba setiap sepuluh satu dirham.
Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi murabahah, yaitu : البيع بمثل الثمن الأول مع زيادة ربح"Jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan"[6].
Murabahah tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadis[7]. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-Quran atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati.[8] Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: "Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah.[9]
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1. Mengetahui harga pokok
Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
2. Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga. Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
3. Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya.[10]
Jual beli murabahah merupakan jual beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Atau dengan kata lain dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah SWT berfirman dalam surah al-Anfal 27:
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ  

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui"[11].
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi jual beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama fiqh, yaitu: menurut ulama Hanafiyyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat.[12]
D. MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF PRAKTISI
Hadirnya bank syari'ah dewasa ini menunjukan kecenderungan yang semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari'ah cukup bervariatif, sehingga mampu memberikan pilihan atau alternative bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Dalam perbankan syari'ah, ada dua bentuk murabahah yang umumnya dipraktekkan, yakni murabahah modal kerja dan murabahah investasi. Penjelasannya sebagai berikut :
                                i.            Murabahah modal kerja adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah selaku pemesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama.[13] Atau menjual suatu barang dengan harga asal (modal) ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.[14]
                              ii.            Murabahah investasi, yaitu suatu perjanjian jual beli untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkan barang seketika sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama.[15]
Adapun rukun murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqh dan apabila dianalogikan dalam praktek perbankan sebagai berikut :
1)      Penjual (ba'i) dianalogikan sebagai bank.
2)      Pembeli (musytari) dianalogikan sebagai nasabah.
3)      Barang yang diperjualbelikan (mabi'), yaitu jenis pembiayaan seperti pembiayaan investasi.
4)      Harga (tsaman) dianalogikan sebagai pricing atau plafond pembiayaan.
5)      Ijab Qabul dianalogikan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.[16]

Adapun syarat-syarat umum murabahah antara lain, yaitu :
1. Pihak yang berakad :          
a.       Adanya kerelaan kedua belah pihak
b.      Memiliki kemampuan untuk melakukan jual beli
2. Barang atau obyek :
a.       Barang itu ada meskipun tidak di tempat, namun ada pernyataan kesanggupan untuk mengadakan barang itu.
b.      Barang itu milik sah penjual atau seseorang
c.       Barang yang diperjualbelikan harus berwujud
d.      Barang itu tidak termasuk kategori yang diharamkan
e.       Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual
f.       Apabila benda bergerak, maka barang itu bisa langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan bila barang itu tidak bergerak dapat dikuasai pembeli setelah dokumentasi jual beli dan perjanjian atau akad diselesaikan.
3. Harga :
a.       Harga jual bank adalah harga beli ditambah keuntungan
b.      Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian
c.       Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama

Sedangkan syarat-syarat khusus murabahah antara lain:
1)      Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya dari barang yang hendak dijual.
2)      Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menyetujui besarnya keuntungan yang ditetapkan sebagai tambahan terhadap modal sehingga modal ditambah dengan untung merupakan harga barang yang dijual.
3)      Barang yang dijual secara murabahah dan harga barang itu bukan dari jenis yang sama dengan barang ribawy yang dilarang diperjualbelikan kecuali dengan timbangan atau takaran yang sama. Dengan demikian tidak sah jual beli secara murabahah atas emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang jenisnya sama.[17]


E. KESIMPULAN

1. Murabahah adalah salah satu produk yang dikembangkan oleh bank syari'ah. Produk ini didasarkan pada prinsip jual beli yang dalam istilah fiqh Islam disebut dengan bai' al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah menjual barang dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bai' al-murabahah ini merupakan salah satu bentuk bai' al-amanah, disamping bai' at-tauliyyah, yakni menjual barang dengan harga pokok tanpa mengambil keuntungan apapun dan bai'al-wadhi'ah, yakni menjual barang dengan harga jual dibawah harga pokok.
2. Bai' al-murabahah dalam fiqh kemudian diterapkan dalam bentuk produk perbankan syari'ah. Dalam perbankan syari'ah, produk ini diartikan sebagai akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut, bank mendapatkan keuntungan.
3. Aplikasi konsep murabahah dalam perbankan syari'ah ini menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan ulama tentang halal dan tidaknya.

5 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Cet. IV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 463. 6 Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 703. 7 Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 161. 8 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et. al, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 137. 9 Ibid, h. 138. 10 Ibid. 11 Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 705. 12 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989), h. 264. 13 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 76. 14 Ibid, h. 87. 15 Joseph Schacht, The Encyklopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1986), h. 510. 16 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 89. 17 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (CD Hadits). 18 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 87. 19 Abu Sura'i Abdul Hadi, Ar-Riba wa al-Qurudh, Terj. M. Thalib, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 60. 20 Anita Rahmawati, Op.cit, h. 90. 21 Ibid, h. 91. 22 Arison Hendry, Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu'amalat Institute, 1999), h. 43. 23 Tazkiah Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan Syari'ah, 14 Mei 1999, h. 1. 24 Arison Hendry, Loc.cit. 25 Ibid. 26 Tazkia Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Program Pendidikan dan Pengembangan SDM Bank Mu'amalah, h. 2.




[1] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 126.
[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 344.
[3] Anita Rahmawati, Kontroversi Konsep Murabahah Dalam Perbankan Syari'ah dan Aplikasinya di BMI Semarang, (Tesis, 2000), h. 52.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Loc.cit.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Cet. IV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 463.
[6] Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 703.
[7] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et. al, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 137.
[8] Ibid, h. 138.
[9] Ibid.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Op.cit, h. 705.
[11] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989), h. 264.
[12] Anita Rahmawati, Op.cit, h. 76.
[13] Arison Hendry, Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu'amalat Institute, 1999), h. 43.
[14] Tazkiah Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan Syari'ah, 14 Mei 1999, h. 1.
[15] Arison Hendry, Loc.cit.
[16] Ibid.
[17] Tazkia Institute, Murabahah, Makalah disampaikan pada Program Pendidikan dan Pengembangan SDM Bank Mu'amalah, h. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar