Senin, 20 Juni 2011

EFEKTIVITAS DAN EFEKTIFIKASI SERTA EVALUASI HUKUM



BAB I
1.PENDAHULUAN
Sejak lahir ke dunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan
pegangan baginya.Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum, apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan . Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda).















BAB II
A.    Efektifitas dan Efektivikasi Hukum
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas dari hukum diantaranya :
a. Hukum itu harus baik
-         Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
-         Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum    tertentu harus sinkron)
-         Secara filosofis
b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
d. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
·         Tahu hukum (law awareness)
·         Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
·         Paham akan isinya (law acqium tance)
·         Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
e. Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum- hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
1.      Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
2.      Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu.
3.      Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja

B. Efektivitas Hukum yang Diharapkan
Bagaimana mewujudkan efektifitas hukum pada lembaga peradilan di Indonesia, langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh ?  Efektifitas hukum adalah bahwa hukum itu berhasil guna dan efektif, dimana hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan serta hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat serta sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat). (Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang struktur ilmu hukum, hal. 189).
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah hukum adalah masalah manusia bukan sistem perundang-undangan belaka, masalah hukum bukan semata-mata urusan Undang-Undang (affair of rules) tetapi juga urusan perilaku manusia (affair of behavior). Hukum ada didalam masyarakat untuk menjaga ketertiban dan memberikan keadilan, hukum untuk masyarakat, hal ini adalah membentuk suasana yang dinamis, namun bagi bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak semuanya menjamin bahwa keadaan akan dapat teratasi karena akan muncul seberapa besar perubahan dilakukan agar hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakat. Perubahan sosial yang besar yang menyebabkan hukum sulit untuk mengakomodasikannya kedalam sistem yang ada, perubahan tersebut termasuk perubahan perilaku bangsa yang cenderung berorientasi kepada keuntungan bersifat kapitalis sehingga berpengaruh pada praktik hukum. (Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka terwujudnya efektifitas hukum itu dibuktikan dengan terwujudnya nilai-nilai keadilan yang diciptakan oleh penegak hukum, terwujudnya ketertiban dan peradaban masyarakat yang menghargai hukum dan sadar hukum serta adanya perubahan masyarakat yang bisa diakomodasikan kedalam sistem hukum, tercipanya peraturan hukum yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa bukan kepentingan politik, kepentingan penguasa, kepentingan pengusaha.

Peradilan adalah salah satu institusi atau lembaga penegakan hukum, untuk penegakan hukum pada lembaga tersebut tidak bisa dilepaskan dengan pelaku penegakan hukum, pelaku penegakan hukum menurut Bagir Manan adalah dalam perkara pidana yaitu penyidik, penuntut umum dan hakim, dalam perkara perdata / perdata agama yaitu hakim dan para pihak yang berperkara, dalam perkara administrasi negara pelakunya adalah hakim, penggugat dan pejabat administrasi negara. Penasehat hukum / advokat juga sebagai pelaku penegakan hukum di bebagai macam perkara. (Bagir Manan, Prof, Dr, H, SH, M.CL, Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian), hal. 5).
Dengan demikian untuk mewujudkan efektifitas hukum banyak pos-pos yang terkait dan terlibat langsung yang harus diperhatikan dan diadakan pembenahan yang serius dengan langkah-langkah yang mantap, tegas, terkonsep dan terarah, yaitu diantaranya:
1. Pembenahan/Evaluasi Peraturan Perundang-undangan
Menurut Bagir Manan bahwa untuk menegakkan hukum yang adil dimana aturan hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil yaitu apabila dibuat dengan cara-cara yang benar, materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan membawa manfaat yang besar bagi kepentingan indifidu maupun masyarakat, tetapi jika aturan itu dibuat atas dasar kepentingan penguasa dan mengandung kesewenang-wenangan maka akan tidak benar dan tidak adil.(Baagir Manan, Sistim peradilan berwibawa, hal. 20).
Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa meskipun masalah hukum bukan semata-mata berkait dengan undang-undang tetapi juga berkait dengan perilaku manusia, namun sistem perundang-undangan perlu disempurnakan sebagai negara hukum. (Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Menurut A.Qodri Azizy bahwa undang-undang mempunyai kedudukan yang paling penting disamping sebagai wujud kodifikasi dan unifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional, rupanya ada beberapa sebab yang menjadikan pentingnya undang-undang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Dengan undang-undang materi hukum lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan terkodifikasi.
2.      Dalam banyak hal dengan undang-undang berarti telah terjadi unifikasi hukum yang dapat berlaku secara nasional dan tidak dibatasi oleh daerah, suku atau golongan tertentu, kecuali undang-undang yang dengan tegas menyebut ruang lingkup berlakunya undang-undang tersebut.
3.      Lebih mudah untuk dipahami meskipun terdapat ungkapan yang inpretabel (mungkin ditafsirkan), hal ini jauh lebih mudah dibandingdengan menafsirkan hukum yang tidak tertulis.
4.      Resiko bagi penegak hukum lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan hukum tidak tertulis atau keberanian melakukan ijtihad untuk menemukan hukum, tuduhan bahwa penegak hukum melanggar undang-undang tidak ada.
5.      Bagi penyidik akan sangat mudah ketika menjerat pelanggar hukum dengan menunjuk pasal-pasal tertentu, akan mengalami kesulitan kalau dengan menunjuk norma-norma yang hidup di masyarakat.
Untuk pembenahan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah (Presiden), peran wakil-wakil rakyat yang ada di DPR, peranan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang sangat menentukan. Dengan demikian produk undang-undang yang berorientasi kepada nilai keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab kedua lembaga itu. Person-person yang ada dikedua lembaga itu harus terdiri dari orang-orang berwawasan keilmuan tinggi, mempunyai wawasan terhadap budaya bangsa dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta peka terhadap perubahan sosial, memiliki integritas moral tinggi, kejujuran, jiwa keadilan, tidak berorientasi kepada materi dalam pembahasannya, tidak terkoptasi dengan politik dangkal dan tidak memiliki watak, tidak berpandangan dengan pola pikir yang sarat dengan kepentingan partai, kelompok serta diskriminasi.
Peraturan perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia baik dibidang hukum pidana maupun perdata haruslah yang benar-benar selaras dengan karakter, kultur, jiwa masyarakat Indonesia, adat istiadat, yang tidak sarat dengan kepentingan penguasa, yang tidak terlalu bernuansa politik, harus yang dapat mengayomi masyarakat, dapat mewujudkan ketentraman, ketenangan serta kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
2. Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral TerpujiPenegakan hukum (law enforcement) telah disinggung dibagian terdahulu pada lembaga peradilan, untuk penegak hukumnya tidak hanya hakim pengadilan, tetapi terlibat juga penegak hukum yang lain seperti polisi, jaksa, advokat/pengacara, oleh karena itu Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk mewujudkan keadilan kepada masyarakat harus ada perilaku nyata dari orang-orang yang mengoperasikan hukum agar konsisten menegakkan keadilan, mengedepankan moralitas yang mendukung keadilan tersebut. Hukum sebagai institusi moral, nilai-nilai moral masuk kedalam hukum sehingga benteng keadilan dapat terwujud. (Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal.173-1174).
Didalam Islam seseorang tidak boleh diberi kekuasaan kecuali bersifat adil, adil adalah akhlak yang utama, jika seseorang tidak emiliki sifat yaang demikian maka tidak sah kekuasaannya, orang tidak boleh mendengarkan perkataannya dan tidak boleha melaksanakan keputusannya.(Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113).
Bersifat adil yaitu jujur dalam perkataan, amanah (terpercaya), menjaga diri dari segala perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, dapat menahan diri dalam waktu senang dan waktu marah, menjaga sifat sopan santun dalam agama dan dunia, jika tidak ada salah satu saja dari sifat-sifat tersebut maka seseorang tidak sah diberi kekuasaan. Dalam hal kewenangan peradilan yang berkaitan dengan tugas menjatuhkan keputusan jika diserahkan kepada orang yang tidak bisa dipercaya, maka pasti yang akan diputuskan mengandung kedholiman, kemaslahatan akan sirna, kerusakan akan menjadi parah.(Imam Mawardi, Al Ahkam Sulthoniyah, hal. 84).
Dari pandangan-pandangan tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa syarat adil dalam kerangka moral utama yang berbentuk kejujuran, amanah, tidak emosional, memelihara diri dari dosa dan hal yang haram, tidak ragu-ragu dalam bersikap adalah mutlak harus dimiliki oleh penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat/pengacara.
Disamping moral yang baik, kecerdasan penegak hukum sangat diperlukan dalam arti penguasaan keilmuan, ketrampilan, kekuatan daya pikir dan ingatan karena bagian penting penegakan hukum adalah peranan penegak hukum dalam mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk dengan pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu, dalam melaksanakan itu perlu p-engetahuan tentang interpretasi (penafsiran) yang mendalam, dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum terutama hakim lebih bertumpu pada penafsiran gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundangan, padahal dengan penafsiran gramatikal saja tidak cukup mendukung terwujudnya keadilan dan penegakan hukum yang proporsional tetapi harus didukung penafsiran yang lain misalnya penafsiran filosofis mengapa seseorang melakukan / tidak melakaukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana tetapi dengan penafsiran filosofis, misalnya mengapa mengambil sesuatu ? apakah karena kelaparan ? sangat terpaksa dan nilai yang diambil kecil (sebagaimana yang diperbuat Umare bin Khothob yang tidak menghukum potong tangan bagi pencuri makanan karena pada waktu itu musim paceklik) sehingga dengan penafsiran filosofis mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan hukum.(Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia, hal.136-137).
Hikmah lembaga peradilan diantaranya menghilangkan penderitaan, menolak kesewenang-wenangan, menghukum orang yang berbuat dholim (aniaya), memenangkan orang yang teraaniaya, menghilangkan permusuhan, untuk hal itu diperlukan hakim yang sholih, hakim yang adil dan terjaminnya kebebasan hakim jauh dari pengaruh penguasa yang dapat mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.(Abdul Karim Zaidan, Dr, Nidhomul Qodlo’ fi syariatil islamiyah, hal.21-22).




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.














DAFTAR PUSTAKA
1.       Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44.
2.        Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. Hlm.
3.       Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147.
4.       Soejono soekanto. Pokok-pokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2.
5.       Bagir Manan, Prof, Dr, H, SH, M.CL, Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian), hal. 5.
6.       Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44.
7.       Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113


Tidak ada komentar:

Posting Komentar